03 July 2024

Meninggal saat Berolahraga, Kenapa Bisa Terjadi? Bagaimana Mencegahnya?

Meninggal mendadak saat berolahraga, terutama pada aktivitas intensitas tinggi, merupakan kejadian tragis yang meski jarang, namun selalu mengejutkan dan menggugah banyak pertanyaan. Kondisi ini seringkali melibatkan individu yang tampak sehat dan bugar, membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi. Penyebab utama kematian mendadak saat berolahraga biasanya berkaitan dengan kondisi jantung yang tidak terdiagnosis, seperti kardiomiopati hipertrofik, aritmia jantung, dan penyakit jantung koroner. Selain itu, faktor-faktor eksternal seperti dehidrasi, kelelahan ekstrem, dan penggunaan suplemen atau doping juga dapat berkontribusi terhadap risiko ini.

Beberapa kasus tragis melibatkan kematian mendadak atlet selama pertandingan olahraga menyoroti betapa pentingnya pemeriksaan kesehatan jantung yang baik dan kesiapan tim medis. Hank Gathers, pemain basket Loyola Marymount University, kolaps dan meninggal saat pertandingan pada tahun 1990 di usia 23 tahun. Marc-Vivien Foe, pemain sepak bola Kamerun, meninggal saat bertanding dalam Piala Konfederasi FIFA 2003 setelah kolaps di lapangan pada usia 28 tahun. Antonio Puerta, pemain sepak bola Sevilla, pingsan di lapangan pada tahun 2007 dan meninggal beberapa hari kemudian pada usia 22 tahun. Patrick Ekeng, pemain asal Kamerun, kolaps di lapangan selama pertandingan liga Rumania pada tahun 2016 di usia 26 tahun. Michael Goolaerts, seorang pembalap sepeda, mengalami serangan jantung dan terjatuh saat mengikuti Paris-Roubaix pada tahun 2018; ia segera dibawa ke rumah sakit tetapi meninggal beberapa jam kemudian pada usia 23 tahun. Kasus-kasus ini menunjukkan risiko serius yang dapat terjadi bahkan pada atlet yang terlihat sehat dan bugar.

Belum lama ini, di Indonesia, juga terjadi kematian mendadak pada atlet badminton asal China, Zhang Zi Jie. Saat bertanding dalam babak semifinal sebuah kompetisi di Yogyakarta, Zhang mendadak jatuh dan mengalami kejang-kejang. Meskipun tim medis segera memberikan pertolongan pertama dan membawanya ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Kejadian-kejadian seperti ini menegaskan pentingnya memahami penyebab utama kematian mendadak saat berolahraga dan bagaimana cara mencegahnya. Dengan meningkatnya kesadaran akan risiko ini, diharapkan para atlet, pelatih, dan penyelenggara acara olahraga dapat mengambil langkah-langkah preventif yang tepat.

Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang kondisi jantung yang sering tidak terdiagnosis, tanda dan gejala yang perlu diwaspadai, serta cara dokter mendiagnosis kondisi-kondisi tersebut. Selain itu, akan dibahas juga strategi pencegahan dan pentingnya edukasi serta kesiapan medis dalam menghadapi situasi darurat di lapangan. Dengan informasi yang tepat, diharapkan kita semua dapat menikmati manfaat kesehatan dari olahraga tanpa mengorbankan keselamatan.


Dampak Olahraga Terhadap Jantung

Olahraga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan jantung. Aktivitas fisik teratur dapat memperkuat otot jantung, meningkatkan sirkulasi darah, dan membantu menjaga berat badan yang sehat, yang semuanya berkontribusi pada penurunan risiko penyakit jantung koroner. Studi menunjukkan bahwa olahraga aerobik, seperti berlari, bersepeda, dan berenang, dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi kadar kolesterol jahat (LDL), dan meningkatkan kadar kolesterol baik (HDL). Selain itu, aktivitas fisik membantu mengontrol kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin, yang penting untuk mencegah diabetes tipe 2, salah satu faktor risiko utama penyakit jantung.

Namun, olahraga yang intens dan berlebihan dapat memiliki dampak negatif terhadap jantung, terutama dalam meningkatkan risiko aritmia berbahaya dan serangan jantung. Ketika berolahraga, tubuh melepaskan hormon adrenalin yang dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Pada individu dengan kelainan jantung tersembunyi, peningkatan adrenalin ini dapat memicu aritmia, seperti ventrikular takikardia atau fibrilasi, yang bisa fatal. Selain itu, hormon endorfin yang dilepaskan selama aktivitas fisik intens dapat menutupi rasa sakit, membuat seseorang tidak menyadari bahwa mereka telah melewati batas kemampuan fisik mereka, yang juga dapat meningkatkan risiko kerusakan jantung. Oleh karena itu, penting untuk berolahraga dengan bijaksana, memahami batasan tubuh, dan berkonsultasi dengan profesional medis sebelum memulai program latihan yang intens.


Kondisi Jantung yang Sering Tidak Terdeteksi dan Berpotensi Menimbulkan Masalah Saat Olahraga Intensitas Tinggi


1. Kardiomiopati Hipertrofik (HCM)

Kardiomiopati hipertrofik (HCM) adalah kondisi genetik di mana otot jantung menjadi lebih tebal dari biasanya tanpa penyebab yang jelas. Penebalan ini dapat mengganggu aliran darah keluar dari jantung dan menyebabkan aritmia berbahaya. Gejala HCM sering kali tidak terlihat atau ringan, seperti sesak napas, nyeri dada, dan pingsan, terutama selama atau setelah olahraga. Dokter biasanya mendiagnosis HCM melalui pemeriksaan fisik, elektrokardiogram (EKG), dan ekokardiogram untuk melihat ketebalan dinding jantung dan fungsi jantung.


2. Displasia Ventrikel Kanan Aritmogenik (ARVD)

Displasia ventrikel kanan aritmogenik (ARVD) adalah kondisi genetik lain di mana jaringan otot di ventrikel kanan jantung digantikan oleh jaringan lemak atau fibrosa. Hal ini dapat menyebabkan aritmia yang serius dan berpotensi mematikan. Gejala ARVD meliputi palpitasi, pusing, dan pingsan, terutama saat atau setelah berolahraga. Diagnosis ARVD dilakukan dengan EKG, MRI jantung, dan biopsi endomiokardial untuk memeriksa adanya jaringan abnormal di ventrikel kanan.


3. Aritmia Ventrikel yang Diinduksi oleh Olahraga

Aritmia ventrikel yang diinduksi oleh olahraga adalah kondisi di mana aktivitas fisik memicu irama jantung yang tidak normal, khususnya pada ventrikel. Gejala utamanya adalah keluhan berdebar / palpitasi dan pingsan selama olahraga. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kelainan struktural atau kelistrikan pada jantung. Dokter dapat mendiagnosis kondisi ini melalui pemeriksaan EKG saat jantung diberikan beban (Treadmill Stress Test) atau monitoring EKG 24 jam / Holter untuk mendeteksi aritmia yang terjadi selama aktivitas fisik.


4. Infark Miokard Akut

Infark miokard akut, atau serangan jantung, terjadi ketika aliran darah ke bagian otot jantung terhenti, biasanya karena penyumbatan arteri koroner. Gejala serangan jantung mencakup nyeri dada yang berat, sesak napas, keringat dingin, dan pingsan. Meskipun lebih sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua, atlet muda juga bisa mengalami serangan jantung jika lesi aterosklerosis yang tidak signifikan dan belum bergejala mengalami ruptur, menyebabkan terbentuknya gumpalan darah yang menyumbat arteri koroner.

Risiko ini lebih tinggi pada individu yang memiliki kebiasaan tidak sehat seperti merokok, konsumsi makanan tinggi lemak, konsumsi alkohol berlebihan, dan yang sedang mengalami peradangan tidak terkontrol (misalnya, sakit influenza atau memiliki gigi bolong). Semua faktor ini, jika dikombinasikan dengan stres mekanis akibat lonjakan tekanan darah dan denyut jantung yang tinggi selama aktivitas fisik yang intens, dapat menyebabkan ruptur plak yang rentan dan memicu terjadinya serangan jantung.


Faktor lain yang dapat berkontribusi pada terjadinya henti jantung

Selain kondisi jantung yang sudah disebutkan, faktor lain seperti dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penggunaan doping juga dapat meningkatkan risiko henti jantung mendadak selama olahraga. Dehidrasi dapat menyebabkan penurunan volume darah, yang meningkatkan beban kerja jantung dan risiko aritmia. Ketidakseimbangan elektrolit, terutama kalium dan magnesium, juga dapat mempengaruhi fungsi jantung. Penggunaan doping dan suplemen yang tidak diawasi dengan baik dapat memperparah kondisi ini dengan memicu tekanan darah tinggi dan peningkatan denyut jantung yang berlebihan.


Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya henti jantung saat berolahraga?


1. Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Rutin

Sebelum memulai program olahraga intensitas tinggi, sangat penting untuk menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa jantung Anda dalam kondisi yang baik dan siap menghadapi beban fisik yang berat. Tes yang biasanya dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), ekokardiogram, dan tes stres untuk menilai fungsi jantung dan mendeteksi adanya kelainan struktural atau ritme jantung yang tidak normal. Konsultasi dengan dokter spesialis jantung sangat dianjurkan, terutama jika Anda memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung atau gejala yang mencurigakan.


2. Persiapan Sebelum Berolahraga

Pastikan Anda cukup beristirahat dan terhidrasi dengan baik sebelum berolahraga. Hindari alkohol, kafein, dan obat-obatan tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi jantung dan menyebabkan dehidrasi atau peningkatan denyut jantung secara drastis. Mengonsumsi makanan yang sehat dan seimbang juga penting untuk memastikan tubuh memiliki energi yang cukup dan mendukung fungsi jantung yang optimal.


3. Kesiapsiagaan Tim Kesehatan

Selama pertandingan atau latihan, penting untuk memiliki tim kesehatan yang sigap dan terlatih dalam menangani situasi darurat. Tim ini harus dilengkapi dengan peralatan medis yang memadai, termasuk alat untuk resusitasi jantung paru (RJP). Pelatihan rutin untuk tim kesehatan dalam penggunaan defibrilator eksternal otomatis (AED) dan teknik RJP sangat penting untuk memastikan respons cepat dan efektif jika terjadi henti jantung mendadak.


4. Fasilitas dengan AED

Fasilitas olahraga dan tempat-tempat lain di mana aktivitas fisik intensitas tinggi berlangsung perlu dilengkapi dengan AED. Alat ini sangat penting untuk memberikan kejutan listrik yang dapat mengembalikan ritme jantung yang normal pada orang yang mengalami henti jantung. AED harus ditempatkan di lokasi yang mudah diakses dan semua staf serta peserta harus dilatih dalam penggunaannya. Keberadaan AED dan pelatihan yang tepat dapat secara signifikan meningkatkan peluang bertahan hidup seseorang yang mengalami henti jantung mendadak.


Jika terjadi henti jantung, apakah RJP bisa membantu?

Kemarin ada pembaca yang menanyakan, jika tim medis sigap dan dilakukan RJP (resusitasi jantung paru) serta defibrilasi cepat, apakah bisa menyelamatkan nyawa? Jawabannya adalah ya, RJP dan defibrilasi cepat dapat secara signifikan meningkatkan peluang bertahan hidup seseorang yang mengalami henti jantung mendadak.

Penelitian menunjukkan bahwa RJP yang dilakukan segera setelah seseorang mengalami henti jantung dapat meningkatkan peluang bertahan hidup dua hingga tiga kali lipat. Waktu adalah faktor kunci; setiap menit penundaan dalam memulai RJP mengurangi peluang bertahan hidup sekitar 7-10%. Dengan adanya defibrilasi, khususnya menggunakan defibrilator eksternal otomatis (AED), peluang bertahan hidup dapat meningkat lebih jauh. Menurut American Heart Association, kombinasi RJP dan defibrilasi dalam 3-5 menit pertama dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup hingga 74%.

Fabrice Muamba, pemain sepak bola Bolton Wanderers, adalah salah satu contoh terkenal di mana RJP dan defibrilasi yang cepat berhasil menyelamatkan nyawa. Pada tahun 2012, Muamba kolaps di lapangan selama pertandingan Piala FA akibat henti jantung. Tim medis segera melakukan RJP dan menggunakan defibrilator. Setelah 78 menit tanpa detak jantung yang terdeteksi, Muamba akhirnya pulih sepenuhnya tanpa kerusakan otak yang signifikan, berkat respons cepat dan tindakan medis yang tepat.

Kasus lain yang terkenal adalah Christian Eriksen, pemain sepak bola Denmark, yang kolaps saat pertandingan Euro 2020. Tim medis yang berada di lapangan segera memberikan RJP dan menggunakan defibrilator untuk mengembalikan ritme jantungnya. Eriksen berhasil diselamatkan dan kemudian pulih setelah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Insiden ini menyoroti pentingnya kesiapsiagaan medis dan keberadaan AED di setiap acara olahraga.


Penutup

Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau resusitasi jantung paru (RJP) sangat penting agar orang-orang di sekitar korban henti jantung dapat bertindak cepat dan efektif. Kemampuan ini dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati. Oleh karena itu, pelatihan BHD harus menjadi bagian integral dari pendidikan masyarakat. Di beberapa negara maju, anak-anak di sekolah dasar sudah dilatih untuk melakukan BHD, memastikan bahwa mereka siap menjadi penolong pertama dalam situasi darurat. Dengan pengetahuan dasar tentang RJP, lebih banyak orang dapat memberikan bantuan segera, yang sangat meningkatkan peluang bertahan hidup korban henti jantung mendadak.

Selain pelatihan BHD, mewajibkan tempat publik untuk dilengkapi dengan defibrilator eksternal otomatis (AED) merupakan langkah penting lainnya dalam menyelamatkan nyawa. Banyak negara maju telah menerapkan regulasi yang mengharuskan fasilitas umum seperti sekolah, pusat perbelanjaan, stadion olahraga,  dan gedung perkantoran memiliki AED yang mudah diakses. Keberadaan AED dan pelatihan yang memadai tentang penggunaannya memungkinkan respons cepat terhadap kejadian henti jantung mendadak, memberikan kesempatan terbaik untuk menyelamatkan nyawa sebelum tim medis profesional tiba di lokasi. Dengan demikian, kombinasi pelatihan BHD yang luas dan akses yang baik ke AED adalah kunci untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.


Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI